Jumat, 12 April 2013

Teori Dependensi by. Hasan Asyhari


1. Sejarah Perkembangan Teori Dependensi.
            Pendekatan teori dependensi pertama kali muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang telah dijalankan oleh Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin. (United Nation Economic Commission for Latin Amerika) ECLA?KEPBBAL)  pada masa awal tahun 1960-an. Pada tahun 1950-an banyak pemerintahan di Amerika Latin, yang dikenal cukup “populis”, mencoba untuk menerapkan strategi pembangunan dari KEPBBAL yang menitik beratkan pada proses industrialisasi melalui program industrialisasi subsitusi impor (ISI). Dari padanya diharapkan akan memberikan keberhasilanyang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan hasil pembangunan, peningkatan kesejahtaraan rakyat, dan pada akhirnya akan memberikan suasana yang mendorong pembangunan politik yang lebih demokratis. Yang terjadi adalah sebaliknya, ekspansi ekonomi amat singkat, dan segera berubah menjadi stagnasi ekonomi.
            Disamping itu, lahirnya teori dependensi ini juga dipengaruhi dan merupakan jawaban atas krisis teori Marxis ortodoks di Amerika Latin. Menurut pandangan Marxis ortodoks, Amerika Latin harus mempunyai tahapan revolusi industri “borjuis” sebelum melampaui revolusi sosialis proletar. Namun demikian Revolusi Repuplik Rakyat Cina (RRC) tahun 1949 dan revolusi Kuba pada akhir tahun 1950-an mengajarkan pada kaum cendikiawan, bahwa negara dunia ketiga tidak harus mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tersebut. Tertarik pada model pembanguan RRC dan Kuba, banyak intelektual radikal di Amerika Latin berpendapat, bahwa negara-negara Amerika Latin dapat saja langsung menuju dan berada pada tahapan revolusi sosialis.
2. Asumsi dasar teori dependensi klasik.
·         Keadaan ketergantungan dilihat dari satu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia ketiga. Teori dependensi berusaha menggambarkan watak-watak umum keadaan ketergantungan di Dunia Ketiga sepanjang perkembangan kapitalisme dari Abad ke-16 sampai sekarang.
·         Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh “faktor luar”, sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya tidak terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat wiraswasta, melainkan terletak pada diluar jangkauan politik ekonomi dalam negeri suatu negara. Warisan sejarah kolonial dan pembagian kerja internasional yang timpang bertanggung jawab terhadap kemandekan pembangunan negara Dunia Ketiga.
·         Permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalir surplus ekonomi dari negara Dunia Ketiga ke negara maju. Ini diperburuk lagi kerena negara Dunia Ketiga mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan relatifnya.Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global. Disatu pihak, mengalirnya surplus ekonomi dari Dunia Ketiga menyebabkan keterbalakangannya, satu faktor yang mendorong lajunya pembangunan dinegara maju.
·         Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan. Bagi teori dependensi, pembangunan di negara pinggiran mustahil terlaksana. Sekalipun sedikit perkembangan dapat saja terjadi dinegara pinggiran ketika misalnya sedang terjadi depresi ekonomi dunia atau perang dunia. Teori dependensi berkeyakinan bahwa pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir dapat dikatakan tidak mungkin dalam situasi yang terus menerus terjadi pemindahan surplus ekonomi ke negara maju.
3. Warisan pemikiran
a. KEPBBAL
            Proses perumusan kerangka teori dari perspektif dependensi, yang pada mulanya merupakan paradigma pembangunan yang khas di Amerika Latin, berkaitan erat dengan KEPBBAL. Dengan apa yang dikenal sebagai “Manifesto KEPBBAL”, Prebisch ketua KEPBBAL, memberikan kritik tentang keusangan konsep pembagian kerja internasional (international division of labour/IDL). Menurut skema IDL, Amerika Latin akan memperoleh banyak keuntungan apabila di satu pihak, ia lebih memfokuskan pada upaya memproduksi bahan pangan dan bahan mentah yang diperlukan oleh negara-negara industri. Dilain pihak, negara-negara industrri tersebut menyediakan keperluan barang-barang industri yang dibutuhkan Amerika Latin (tentu juga kebutuhan barang industri negara pinggiran yang lain). Pada garis besarnya, Prebisch mengajukan gagasan dasar bahwa pembagian kerja internasional yang hanya menguntungkan negara industri harus dihentikan, dan Amerika Latin harus melakukan pembangunan industri untuk menjamin kebutuhan dalam negeri, disamping tetap memperhatikan dan menjaga, paling tidak untuk sementara, kemampuan ekspor bahan pangan dan bahan mentahnya.
            Proses industrialisasi hendaknya dipercepat dengan cara memproduksi sendiri kebutuhan barang-barang dalam negeri untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali beban penyediaan devisa negara yang selama ini diperlukan untuk membayar impor barang-barang tersebut. Pada permulaannya, indusrei dala negeri harus dilindungi dan persaingan bebas barang-barang luar negeri dengan penetapan tarif barang impor yang tinggi dengan cara lainnya, tetapi jika kemampuannya bersaing telah meningkat dan dianggap sepadan, industri dalam negeri harus mampu bersaing tanpa adanya proteksi.
            Sejak awal garis kebijaksanaan KEPPBBAL ini diterima dengan tidak antusias oleh Pemerintah Amerika Latin. Keengganan ini merupakan salah satu sebab mengapa KEPBBAL tidak mampu merealisasikan beberapa gagasan lainnya yang lebih radikal, diantaranya termasuk program pembagian tanah. Sayang program KEPBBAL ini tidak berhasil. Stagnasi ekonomi dan represi politik muncul dipermukaan pada tahun 1960-an. Dalam hal ini ditunjuk dan dijelaskan berbagai kelemahan dan kebijaksanaan industralisasi subsitusi impor (ISI) yang dijalankan oleh Amerika Latin.
             Daya beli masyarakat terbatas pada kelas sosial tertentu, pada pasar domestik ternyata tidak menunjukkan gejala ekspansi setelah kebutuhan barang dalam negeri tersedia. Ketergantungan terhadap impor hanya sekedar beralih dari barang-barang konsumsi ke barang-barang modal. Barang-barang ekspor konvensional tidak terperhatikan dalam suasana hiruk pikuk industrialisasi. Akibatnya adalah timbulnya masalah-masalah yang akut pada neraca pembayaran, yang muncul hampir bersamaan waktunya, disatu negara diikuti segera oleh negar yang lain. Optimisme pertumbuhan berganti depresi yang mendalam.
b. Neo-Marxisme
            Teori dependensi juga memiliki warisan pemikiran dari neo-marxisme. Keberhasilan Revolusi RRC dan Kuba telah membantu tersebarnya perpaduan baru pemikiran-pemikiran Marxisme di universitas-universitas di Amerika Latin, yang kemudian menyebabkan lahirnya generasi baru, yang dengan lantang menyebut dirinya sendi dengan “Neo-Marxists”. Menutur Foster-Carter, neo-marxisme berbeda dengan Marxis ortodoks dalam beberapa hal sebagai berikut:
·         Marxis ortodoks melihat imperialisme dari sudut pandang negara-negara utama (core countries), sebagai tahapan lebih lanjut dari perkembangan kapitalisme di Eropa Barat, yakni kapitalisme monopolistic, neo-marxisme melihat imperialisme dari sudut pandang negara pinggiran, dengan lebih memberikan perhatian pada akibat imperilalisme pada negara-negar dunia ketiga.
·         Marxis ortodoks cenderung berpendapat tentang tetap perlu berlakunya pelaksanaan dua tahapan revolusi. Revolusi borjuis harus terjadi lebih dahulu sebelum revolusi sosialis. Marxis ortodoks percaya bahwa borjuis progresif akan terus melaksanakan revolusi borjuis yang tengah sedang berlangsung dinegara Dunia Ketiga dan hal ini merupakan kondisi awal yang diperlukan untuk terciptanya revolusi sosialis dikemudian hari. Dalam hal ini neo Marxisme percaya, bahwa negara Dunia Ketiga telah matang untuk melakukan revolusi sosialis.
4. Implikasi kebijiaksanaan teori dependensi klasik
            Secara filosofis, teori dependensi menghendaki untuk meninjau kembali pengertian “pembangunan”. Pembangunan tidak harus dan tidak tepat untuk diartikan sebagai sekedar proses industrialisasi, peningkatan keluaran (output), dan peningkatan produktivitas. Bagi teori dependensi, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk dinegara Dunia Ketiga. Dengan kata lain, pembangunan tidak sekedar pelaksanaan program yang melayani kepentingan elite dan penduduk perkotaan, tetapi lebih merupakan program yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk pedesaan, para pencari kerja, dan sebagian besar kelas sosial lain yang dalam posisi memerlukan bantuan. Setiap program pembangunan yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan membebani mayoritas masyarakat tidaklah dapat dikatakan sebagai program pembangunan sebenarnya.
6. Hasil kajian teori dependensi klasik.
a. Tenaga teori depandensi klasik
            Ketergantungan dan keterbelakangan Indonesia mencerminkan kerakteristik yang khas teori dependensi dalam usahanya menguji persoalan pembangunan Dunia Ketiga. Dari padanya diharapkan dapat dilihat secara lebih jelas dan karena itu dapat dicari kekuatan teori dependensi dalam mengarahkan pola pikir peneliti, para perencana kebijaksanaan, dan pengambil keputusan untuk mengikuti tesis-tesis yang diajukan. Dalam hal ini teori dependensi dibanding dengan dua pendekatan pokok yang lain. Namun lebih ditujukan untuk menggali sejauh mana tenaga yang dimiliki teori dependensi dalam mempengaruhi peta pemikiran persoalan pembangunan. Nampaknya ketiga hasil kajian tersebut memiliki asumsi yang sama, yakni ketergantungan pembangunan yang terjagi di negara-negara tersebut disebabkan oleh faktor luar, yang tidak berada didalam jangkauan pengendaliannya, yang pada akhirnya posisi ketergantungan ini akan membawa akibat jauh berupa keterbelakangan pembangunan ekonomi.
b. Ketergantungan dan faktor luar.
            Tenaga inti yang dimiliki oleh teori dependensi klasik dapat diketahui dari kemampuannya untuk mengarahkan peneliti dan pengambil keputusan untuk menguji sejauh mana dominasi asing telah secara signifikan mempengaruhi roda pembangunan nasional.
c. Ketergantungan ekonomi.
            Dengan merumuskan ketergantungan sebagai akibat dari adanya ketimpangan nilai tukar barang dalam transaksi ekonomi, teori dependensi telah mampu mengarahkan para pengikutnya untuk lebih memperhatikan dimensi ekonomi dari situasi ketergantungan. Dalam hal ini, sekalipun teori dependensi sama sekali tidak mengesampingkan dimensi politik dan budaya, persoalan ini hanya dilihat sebagai akibat lanjutan dari dimensi ekonomi.
d. Ketergantungan dan pembangunan.
      Teori dependensi klasik hampir secara ”sempurna” menguraikan akibat negatif yang harus dialami negara Dunia Ketiga sebagai akibat situasi ketergantungannya. Bahkan terkadang tarasa agak berlebihan, ketika teori dependensi menyebutkan bahwa hanya dengan menghilangkan sama sekali situasi ketergantungan, negara Dunia Ketiga baru akan mampu mencapai pembangunan ekonomi.
e. Kritik terhadap teori dependensi.
      Sejak tahun 1970-an, teori dependensi klasik telah demikian banyak menerima kritik. Pada dasarnya kritik yang mereka ajukan mendasarkan diri pada ketidakpuasan mereka terhadap metode kajian, konsep, dan sekaligus implikasi kebijaksanaan yang selama ini dimiliki oleh teori dependensi klasik.
f. Metode pengkajian.
            Teori dependensi menuduh ajaran teori modernisasi tidak hanya sekedar pola pikir yang memberikan pembenaran ilmiah dari ideologi negara-negara barat untuk mengeksploitasi negara dunia ketiga. Dalam menanggapai kritik ini, teori modernisasi membalas dengan tidak kalah garangnya, dengan menunjuk bahwa teori dependensi hanya merupakan alat propaganda politik dari ideologi revolusioner Marxisme. Baginya, teori dependensi bukan merupakan karya ilmiah, melainkan lebih merupakan pamflet politik
g. Kategori teoritis.
            Teori dependensi menyatakan, bahwa situasi ketergantungan yang terjadi di Dunia Ketiga lahir sebagai akibat desakan faktor eksternal. Disinilah para penganut pola pikir neo-Marxisme mengarahkan kritiknya. Mereka menuduh, bahwa teori dependensi secara berlebihan menekankan pentingnya pengaruh faktor eksternal, dengan hampir melupakan sama sekali dinamika internal, seperti misalnya peranan kelas sosial dan negara.
h. Implikasi kebijaksanaan.
            Sejak dari awal penjelasannya, teori dependensi telah secara tegas dan detail menguraikan akibat buruk dari kolonialisme dan pembagian kerja internasional. Teori ini berpendapat, selama hubungan pertukaran yang tidak berimbang ini tetap bertahan sebagai landasan hubungan internasional, maka ketergantungan negara dunia ketiga tetap tak terselesaikan. Oleh karena itu, teori dependensi mengajukan usulan yang radikal untuk mengubah situasi ketimpangan ini, yakni dengan revolusi sosialis.
Referensi:
Alvin, Y.So, Suwarsono. 1990. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia.       Jakarta: LP3ES.

Teori Dependensi Baru by. Hasan Asyhari


            Sebagaimana dengan teori-teori lainnya, teori dependensi baru adalah kritikan atas teori dependensi klasik. Teori dependensi baru adalah teori yang muncul akibat adanya kritik terhadap teori dependensi. Beberapa tokoh yang termasuk dalam teori dependensi baru diantaranya; Fernando Henrique Cardoso, Thomas B Gold, Hagen Koo, dan Mohtar mas’oed.

Tanggapan Teori Dependensi : Rumusan Cardoso
            Menurut cardoso, terdapat tiga rumusan dalam teori “ketergantungan”. Yaitu pertama, metode historis struktural. Kedua, adanya pengaruh faktor ekstern dan faktor intern yang menjadi penyebab ketergantungan dan keterbelakangan. Dari sisi intern, fokus pada masalah ekonomi, sosial dan politik. Persoalan pembangunan yang ada di dunia tidak dapat dibatasi hanya pada industri substitusi impor, strategi pertumbuhan, orientasi ekspor atau tidak, pasar domestik atau dunia. Namun justru pada ada atau tidaknya gerakan kerakyatan dan kesadaran kepentingan politik rakyat. Dalam faktor ekstern, dominansi ekstern akan mewujud sebagai kekuatan intern. Ketiga, adanya kemungkinan bahwa pembangunan dan ketergantungan mewujud secara bersama yang memunculkan ketergantungan yang lebih dinamis.
Pada sisi yang lain, menurut cardoso terdapat beberapa dampak negatif dari teori dependensi, yaitu timpanganya distribusi pendapatan dan ketimpangan ekonomi lainnya. Orientasi pembangunan ekonomi pada barang-barang yang tahan lama yang tidak diperuntukkan rakyat banyak, akan menambah hutang luar negeri.
             Disamping itu, teknologi yang diterapkan pada dunia ketiga adalah teknologi yang padat modal, bukan padat karya. Hal ini akan menyebabkan ketimpangan, karena tidak menjadikan tumbuhnya sektor barang-barang modal

Thomas B Gold : Pembangunan dan ketergantungan Dinamis di taiwan
            Pendapat gold tentang dependensi baru menitikberatkan pada keajaiban pembangunan politik-ekonomi di Taiwan yang dulunya tergolong sebagai negara pinggiran, telah mampu mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesentosaan politik yang lebih dari sekedar memadai. Dengan bantuan dari Amerika Serikat, KMT di Taiwan mengubah dirinya menjadi NBO (Negara Birokratik Otoriter). Industrialisasi merupakan program reformasi yang dilakukan untuk meningkatkan ekonomi. Gold menyimpulkan, bahwa jika negara dunia ketiga mampu secara selektif, hati-hati dan terencana membangun hubungan dengan tata ekonomi kapitalis dunia, maka tidak selalu menghasilkan keterbelakangan dan ketergantungan.

Hagen Koo: Interaksi antara Sistem Dunia, Negara dan Kelas di Korea
            Koo mencoba melihat pembangunan di Korea selatan dalam kontek yang terus menerus antar negara, kelas sosial dan sistem dunia serta pengaruh dari tiga unsur tersebut secara komulatif dan bersamaan.

Mohtar Mas’oed: Negara Birokarasi Otoriter di indonesia
            Negara Birokrasi Otokratik mempunyai beberapa cirti dan karakter diantaranya; Posisi puncak pemerintahan biasanya dipegang oleh organisasi militer, pemerintah atau pengusaha; Terdapat pembatasan partisipasi politik yang ketat (political exclusion); Terdapat pembatasan yang ketat dalam partisipasi ekonomi (economic exclusion); Terdapat depolitisasi dan demobilisasi masa. Secara ringkas, NBO dicirikan oleh adanya peran dominan para birokrat, khususnya militer yang melahirkan kebijaksanaan pembatasan partisipasi politik dan ekonomi serta muncul kebijaksanaan depolitisasi dan demobilisasi.
            Di Indonesia NBO lahir dikarenakan karena beberapa sebab, pertama adanya warisan krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada tahun 1960-an. Pengaruh Soekarno masih dianggap mempunyai pengaruh yang kuat dan masih mempunyai pendukung yang tidak sedikit. Kedua adanya koalisi intern orde baru yang memaksa untuk segera melakukan restrukturisasi ekonomi secara radikal. Ketiga adanya orientasi ke luar yang dirumuskan oleh orde baru.
            Saat itu pendalaman industrialisasi, kebijaksanaan integrasi vertikal belum terjadi , Indonesia cenderumg masih dalam tahap awal pemulihan dari kehancuran, sehingga Mas’oed menyimpulkan untuk kasus indonesia lahirnya NBO lebih disebabkan karena faktor krisis politik. NBO di Indonesia mempunyai beberapa karakteristik yaitu;
1. Pemerintah orde baru berada di bawah kendali militer secara organisatoris yang bekerjasama dengan teknokrat sipil
2. Modal domestik swasta besar yang memiliki hubungan khusus dengan negara, dan modal internasional memiliki peran ekonomis yang sangat menentukan
3. Hampir seluruh bentuk kebijaksanaan dari perencanaan sampai evaluasi sepenuhnya berada ditangan birokrat dan teknokrat
4. Adanya kebijakan demobilisasi masa dalam bentuk kebijakan masa mengambang
5. Dalam menghadapi penentangnya, orde baru tidak segan-segan melakukan tindakan tegas
6. Besarnya otonomi dan peran kantor kepresidenan yang diwujudkan dengan sangat luanya wewenang kantor sekretariat negara, ini merupakan ciri khusus untuk indonesia.

Kesimpulan
- Teori dependensi baru memberikan perhatian pada kemungkinan munculnya ciri ketergantungan yang unik dan khas secara historis seperti yang terjadi di Korea, taiwan dan Indonesia.
- Dengan perspektif dependensi baru negara dunia ketiga tidak lagi dipandang sebagai negara yang bergantung pada asing, tetapi sebagai aktor yang aktif yang secara cerdik berusaha untuk bekerjasana dengan modal domestik dan modal internasional
- Jika negara dunia ketiga mampu secara selektif, hati-hati dan terencana membangun hubungan dengan tata ekonomi kapitalis dunia, maka akan bisa membebaskan dari keterbelakangan dan ketergantungan.

Teori Sistem Dunia By. Hasan Asyhari


              Teori sistem dunia  adalah adanya bentuk hubungan negara dalam sistem dunia yang terbagi dalam tiga bentuk negara yaitu negara sentral, negara semi pinggiran dan negara pinggiran. Ketiga bentuk negara tersebut terlibat dalam hubungan yang harmonis secara ekonomis dan kesemuanya akan bertujuan untuk menuju pada bentuk negara sentral yang mapan secara ekonomi. Perubahan status negara pinggiran menuju negara semi pinggiran ditentukan oleh keberhasilan negara pinggiran melaksanakan salah satu atau kombinasi dari strategi pembangunan, yaitu strategi menangkap dan memanfaatkan peluang, strategi promosi dengan undangan dan strategi berdiri diatas kaki sendiri. Sedangkan upaya negara semi pinggiran menuju negara sentral bergantung pada kemampuan negara semi pinggiran melakukan perluasan pasar serta introduksi teknologi modern. Kemampuan bersaing di pasar internasional melalui perang harga dan kualitas.
Negara semi pinggiran yang disampaikan oleh Wallerstein merupakan sebuah pelengkap dari konsep sentral dan pinggiran yang disampaikan oleh teori dependensi. Alasan sederhana yang disampaikannya adalah, banyak negara yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut sehingga Wallerstein mencoba menawarkan konsep pembagian dunia menjadi tiga kutub yaitu sentral, semi pinggiran dan pinggiran.
            Terdapat dua alasan yang menyebabkan sistem ekonomi kapitalis dunia saat ini memerlukan kategori semi pinggiran, yaitu:
1. Dibutuhkannya sebuah perangkat politik dalam mengatasi disintegrasi sistem dunia
2. Dibutuhkannya Sarana pengembangan modal untuk industri dari negara sentral.
Disintegrasi sistem dunia sangat mungkin terjadi sebagai akibat “kecemburuan” negara pinggiran dengan kemajuan yang dialami oleh negara sentral. Kekhawatiran akan timbulnya gejala disintegrasi ini dikarenakan jumlah negara miskin yang sangat banyak harus berhadapan dengan sedikit negara maju. Solusi yang ditawarkan adalah membentuk kelompok penengah antara keduanya atau dengan kata lain adanya usaha mengurangi disparitas antara negara maju dan negara miskin. Secara ekonomi, negara maju akan mengalami kejenuhan investasi sehingga diperlukan perluasan atau ekspansi pada negara lain. Upaya perluasan investasi ini membutuhkan lokasi baru pada negara miskin. Negara ini kemudian dikenal dengan istilah negara semi pinggiran, Wallerstein mengajukan tesis tentang perlunya gerakan populis berskala nasional digantikan oleh perjuangan kelas berskala dunia. Lebih jauh Wallerstein menyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan kebijakan yang merusak tata sistem ekonomi dunia. Alasan yang disampaikan olehnya, antara lain :
1.  Impian tentang keadilan ekonomi dan politik merupakan suatu keniscayaan bagi banyak negara.
2.  Keberhasilan pembangunan pada beberapa negara menyebabkan perubahan radikal dan global terhadap sistem ekonomi dunia.
3.  Strategi pertahanan surplus ekonomi yang dilakukan oleh produsen berbeda dengan perjuangan kelas yang berskala nasional.

Pengaruh Teori Sistem Dunia
Teori sistem dunia telah mampu memberikan penjelasan keberhasilan pembangunan ekonomi pada negara pinggiran dan semi pinggiran. Negara-negara sosialis, yang kemudian terbukti juga menerima modal kapitalisme dunia, hanya dianggap satu unit saja dari tata ekonomi kapitalis dunia.  Negara sosialis yang kemudian menerima dan masuk ke dalam pasar kepitalis dunia adalah China, khususnya ketika periode pengintegrasian kembali (Penelitian So dan Cho dalam  Suwarsono dan So, 1991). Teori ini yang melakukan analisa dunia secara global, berkeyakinan bahwa tak ada negara yang dapat melepaskan diri dari ekonomi kapitalis yang mendunia. kapitalisme yang pada awalnya hanyalah perubahan cara produksi dari produksi untuk dipakai ke produksi untuk dijual, telah  merambah jauh jauh menjadi dibolehkannya pemilikan barang sebanyak-banyaknya, bersama-sama juga mengembangkan individualisme, komersialisme, liberalisasi, dan pasar bebas. Kapitalisme tidak hanya merubah cara-cara produksi atau sistem ekonomi saja, namun bahkan memasuki segala aspek kehidupan dan pranata dalam kehidupan masyarakat, dari hubungan antar negara, bahkan sampai ke tingkat antar individu. Sehingga itulah, kita mengenal tidak hanya perusahaan-perusahaan kapitalis, tapi juga struktur masyarakat dan bentuk negara.

Pendapat para ahli
1. Wallerstein: Fase Penurunan Sistem Ekonomi-Kapitalis Dunia
Wallerstein berpendapat bahwa "pembangunan" atau "keterbelakangan" dari suatu wilayah geografis tertentu tidak dapat dianalisis tanpa meletakan wilayah geografis tersebut dalam konteks "irama siklus" dan kecenderungan "perputaran ekonomi dunia" secara keseluruhan. Penjelasan perangkat "irama siklus" dalam sistem ekonomi dunia (siklus Kondratieff dan siklus logistik)

Daerah Sentral
            Secara umum fase penurunan sistem ekonomi dunia memberikan pengaruh yang sama untuk semua wilayah. Dengan adanya penurunan dalam permintaan dan keuntungan, untuk dapat mempertahankan tingkat laba yang telah dicapai, tersedia dua pilihan kebijaksanaan ekonomi (pengurangan biaya dan perluasan pangsa pasar). Fase penurunan sistem ekonomi-kapitalis juga memberikan kemungkinan terjadinya konsentrasi modal. Kolonialisme merupakan cara lain, yang lebih bersifat politik, yang dapat dilakukan negara sentral untuk melaksanakan konsentrasi modal.
Wilayah Pinggiran
            Negara pinggiran yang lebih bergantung pada industri bahan makanan pokok juga menanggapi krisis abad ke-17 dengan berbagai alternatif kebijakan ekonomi yang tersedia, antara lain dengan kebijaksanaan penekanan biaya khususnya biaya produksi. Penjelasan negara pinggiran Eropa Timur (kaitan antara biaya produksi dan hasil produksi, hasil produksi dan pangsa pasar).
Wilayah Semi-Pinggiran
Pembedaan wilayah negara semi-pinggiran berdasarkan proses lahirnya (2 kategori). Contoh negara semi-pinggiran kategori pertama (Polandia dan Portugis) dan kategori kedua (Swedia).
      2.  Bergessen dan Schoenberg: Gelombang Panjang Kolonialisme
Menurut Bergessen dan Schoenberg, kebanyakan studi tentang kolonialisme dibuat dengan hanya satu titik tolak, yakni dari sudut pandang negara sentral saja atau dari sudut pandang negara pinggiran saja. Tujuan hasil kajian Bergessen dan Schoenberg adalah mencoba menjelaskan kolonialisme sebagai satu bentuk dinamika kolektif yang khas dari tata ekonomi kapitalis dunia, dan menggiring analisa kolonialisme pada tataran analisa yang lebih tinggi dan abstrak dari sekedar tingkat nasional yang diskrit.
Pengukuran Kegiatan Kolonialisme
Contoh mengukur kolonialisme pada tataran skala global dunia: "ukuran kehadiran pemerintah kolonial" sebagai tolok ukur kolonialisme. Penjelasan gelombang panjang kolonialisme dengan ciri peningkatan keluasan (cakupan) dan frekuensi dari putaran global (merupakan refleksi dari peningkatan kemakmuran dan kekayaan sistem ekonomi-kapitalis dunia).
Model Teoritis
Rumusan teoritis yang diajukan Bergessen dan Schoenberg bertumpu pada tiga faktor yang saling terkait (distribusi kekuasaan di negara-negara sentral, stabilitas negara-negara sentral, jawaban sistemik terdiri dari kolonialisme atau merkantilisme.
v  Penjelasan kondisi penyebaran kekuasaan yang kurang lebih merata pada berbagai negara sentral (a multicentric core).
v  Penjelasan kondisi konsentrasi kekuasaan pada satu atau sedikit negara sentral (a unicentric core).
Menurut Bergessen dan Schoenberg, bedasarkan analisis dan perbandingan ketiga gelombang panjang kolonialisme, seiring dengan perjalanan waktu; ciri merusak kolonialisme makin berkurang, berlangsung lebih singkat (pendek) namun dengan jangkauan wilayah yang lebih luas..
v  Gelombang Pertama (1500-1815) dikenal dengan "penjajahan pendudukan", dengan tingkat kerusakan yang paling tinggi.
v  Gelombang kedua ekspansi kolonialisme (1870-1945) terpusat di Afrika, India dan Asia; dengan skala dan jumlah akibat kerusakannya lebih kecil dan lebih bersifat "penguasaan".
v  Gelombang terakhir (ketiga) kolonisasi terjadi setelah tahun 1973, lebih dalam bentuk "ketergantungan" negara pinggiran dan negara berkembang serta dominannya pengaruh negara sentral.
Kritikan
Dua kritik utama yang diajukan terhadap perspektif sistem dunia adalah bahwa konsep sistem dunia seakan-akan merupakan sesuatu yang sangat nyata dan berwujud dan perspektif ini telah hampir secara sempurna meninggalkan sepesifikasi sejarah pada tingkat nasional. Selanjutnya, perspektif ini juga dituduh telah meninggalkan analisis kelas dan lebih mengunggulkan analisis stratifikasi. Kritik yang ditujukan pada perspektif sistem dunia, pada bagian ini, sebagian besar mengacu pada kritik yang diajukan Zeitlin.
Menurut Zeitlin, perhatian Wallerstein yang selalu dicurahkan pada "totalitas" telah menghalanginya untuk terlibat dalam "analisis sejarah yang konkrit dan spesifik dari suatu masyarakat tertentu. Peneliti yang mengikuti perspektif sistem dunia tidak akan mampu menjawab pertanyaan kritis tertentu. Misalnya, mereka akan gagal untuk memberikan jawaban yang memuaskan tentang bagaimana suatu konfigurasi sejarah tertentu dengan hubungan sosial dari suatu formasi sosial tertentu berpengaruh pada perkembangan internal dari suatu masyarakat. Teori sistem dunia dianggap lebih memperhatikan hubungan pertukaran distribusi barang di pasar dibandingkan analisis kelas dan konflik kelas di arena produksi. Menurut Zeitlin, ketika Wallerstein berbicara tentang "kelas", sesungguhnya apa yang dimaksud adalah stratifikasi, yang ukurannya ditentukan oleh tempat berdasarkan urutan penjejangan pekerjaan di dalam tatanan kapitalis dunia.
Model stratifikasi ini bukan tanpa masalah karena, menurut Zeitlin, model ini menyembunyikan ciri nyata dari hubungan kelas sosial dan mengaburkan asal usul sejarah pembentukannya; sehingga akan mengubah keterkaitan yang nyata antara pembagian kerja dan hubungan kelas, menjadi kacau balau.
Referensi:
Alvin, Y.So, Suwarsono. 1990. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3ES.