“Latar Belakang
Keanekaragaman Masyarakat Indonesia
dan Kebudayaan Etnik Minang-Jawa”
Oleh
:
Hasan
Asyhari
16228/2010
Prodi
Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan
Sosiologi
Fakultas
Ilmu Sosial
Uiversitas
Negeri Padang
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat dan kurnia-Nya serta taufik dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Antropologi Kebudayaan Indonesia ini dengan
judul “Latar
Belakang Keanekaragaman Masyarakat Indonesia dan Kebudayaan Etnik Minang-Jawa”.
Makalah ini ditulis dalam rangka sebagai tugas mata
kuliah Antropologi Kebudayaan Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa makalah
ini kurang dari kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi setiap
pembaca. Amiin yaa rabbal
aalamiin.
Padang,
13 Februari 2012
Hasan
Asyhari
Daftar Isi
Kata
Pengantar…………………………………………………..........................................
Daftar
Isi……………………………………………………………………………………
A.Latar Belakang Keanekaragaman Masyarakat/Bangsa
Indonesia………………………..
B. Kebudayaan Etnik Minangkabau dan
Jawa………………………………………………
B.1
Kebudayaan Minangkabau…………………………………………………….
B.1.1 Bentuk
Desa…………………………………………………………..
B.1.2
Mata Pencaharian Hidup………………………………………………
B.2 Kebudayaan
Jawa……………………………………………………………….
B.2.1
Angka-angka dan Fakta-Fakta Demografis……………………………
B.2.2
Bentuk Desa……………………………………………………………
B.2.3 Mata Pencaharian Hidup……………………………………………..
C. Kesimpulan…………………………………………………………………....................
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………
A.Latar Belakang
Keanekaragaman Masyarakat/Bangsa Indonesia
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan
yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang
tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat
majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga
terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan
pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah
tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar
dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi
geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir,
dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan
tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang
berbeda.
Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi
proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya
jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya
agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan
Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa
Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau
tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok
sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional
hingga ke modern, dan kewilayahan.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat
dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia
mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah
pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai
jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu.
Keanekaragaman budaya merupakan kekayaan bangsa kita.
Kebudayaan- kebudayaan daerah merupakan modal utama untuk mengembangkan
kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah
yang ada di wilayah Indonesia. Kebudayaan daerah yang dapat menjadi kebudayaan
nasional harus memenuhi syarat-syarat, seperti:
menunjukkan
ciri atau identitas bangsa, berkualitas tinggi sehingga dapat diterima oleh
seluruh bangsa Indonesia; dan pantas dan tepat diangkat sebagai budaya
nasional.
Kebudayaan nasional harus memiliki unsur-unsur budaya yang
mendapat pengakuan dari semua bangsa kita, sehingga menjadi milik bangsa.
Kebudayaan nasional dilaksanakan pada saat kegiatan tingkat nasional, seperti
perayaan peringatan kemerdekaan 17 Agustus, peringatan hari-hari nasional, dan
kegiatan kantor pemerintah atau swasta. Sebagai warga negara Indonesia kita
seharusnya bangga dengan adanya keanekaragaman kebudayaan. Bermacam-macam
bentuk kebudayaan itu merupakan warisan yang tak ternilai harganya. Kita harus
menghormati keanekaragaman budaya. Kita juga harus melestarikan dan
mengembangkan berbagai bentuk warisan budaya yang ada sekarang ini
Cara menghormati keanekaragaman budaya yang ada di
Indonesia: Menghormati kelompok lain yang menjalankan kebiasaan dan adat
istiadatnya, idak menghina hasil kebudayaan suku bangsa lain, mau menonton seni
pertunjukan tradisional, mau belajar dan mengembangkan berbagai jenis seni
tradisional seperti seni tari, seni musik, dan seni pertunjukan dan bangga
dengan hasil kebudayaan dalam negeri.
B. Kebudayaan Etnik
Minangkabau dan Jawa
B.1 Kebudayaan Minangkabau
Daerah asal dari kebudayaan
Minangkabau kira- kira seluas daerah provinsi sumatera barat sekarang ini,
dengan dikurangi daerah kepulauan mentawai, tetapi dalam pandangan orang
Minangkabau sendiri, daerah ini dibagi lagi ke bagian- bagian khusus. Pembagian-
pembagian khusus itu menyatakan pertentangan antara darek (darat) dan pasisie (pesisir)
atau rantau. Ada anggapan bahwa orang- orang yang berdiam di pesisir, berasal
dari darat. Daerah darat dengan sendirinya dianggap sebagai daerah asal dan
daerah utama dari pemangku kebudayaan Minangkabau. Secara tradisional, daerah
darat terbagi ke dalam tiga luhak (kira-kira
sama dengan kabupaten), yaitu Tanah Data(r),
Agam, dan Limo Pulueh Koto, kadang-
kadang ditambah dengan solok.
Umumnya orang Minangkabau
mencoba menghubungkan keturunan mereka dengan suatu tempat tertentu, yaitu Par(h)iangan, Padang panjang. Mereka
beranggapan bahwa nenek moyang mereka berpindah dari tempat itu dan kemudian
menyebar ke daerah penyebaran yang ada sekarang. Hal ini mungkin dapat
dihubungkan dengan dongeng tentang nenek moyang orang Minangkabau yang berasal
dari puncak Gunung Merapi, seketika gunung itu masih kecil.
Penyebaran orang- orang
Minangkabau jauh dari daerah asalnya disebabkan oleh dua hal. Pertama, ialah
keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa mempergunakan tanah- tanah
yang telah ada. Ini dapat dihubungkan dengan keadaan bahwa seorang laki-laki
tidak mempunyai hak menggunakan tanah warisan bagi kepentingan dirinya sendiri.
Ia mungkin dapat menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga
Matrilinealnya. Kedua, ialah perselisihan- perselisihan yang menyebabkan bahwa
orang yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk
menetap di tempat lain. Keadaan ini kemudian ditambah dengan keadaan yang
diciptakan oleh perkembangan yang berlaku pada masa akhir- akhir ini.
B.1.1 Bentuk Desa
Desa yang disebut nagari dalam bahasa Minangkabau kadang-
kadang terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah nagari dan daerah taratak.
Nagari ialah daerah kediaman utama dan dianggap pusat bagi sebuah desa.
Berbeda dengan taratak yang dianggap
sebagai daerah hutan dan ladang. Kalau ada orang yang berdiam di taratak ini, maka orang itu dianggap
sebagai orang yang bertugas untuk menjaga dan mengerjakan tanah yang ada disitu
dan biasanya tanah itu bukan kepunyaannya. Daerah nagari biasanya ditandai dengan adanya masjid, sebuah balai adat,
dan tempat untuk pasar sekali atau dua kali seminggu. Daerah nagari dalam sebuah desa pertanian,
meliputi juga daerah persawahan. Ladang- ladang biasanya tidak ada dalam daerah
ini, tetapi dalam daerah taratak, walaupun
disitu sering terdapat juga sawah- sawah.
Rumah- rumah adat Minangkabau
atau rumah gadang, kelihatannya akan
hilang dalam waktu yang dekat, karena boleh dikatakan tak ada yang membangun
yang baru lagi. Rumah adat Minangkabau adalah rumah panggung, karena lantainya
terletak jauh di atas tanah. Sebuah rumah
gadang terdiri dari jumlah ruang dalam bilangan yang ganjil, mulai dari
tiga, jumlah ruangan yang biasanya adalah tujuh, tapi ada juga yang memiliki 17
ruangan.
Begitulah kalau sebuah rumah gadang secara memanjang dibagi ke
dalam beberapa ruang, maka secara melebar ia dibagi kepada didieh. Sebuah rumah gadang biasanya
mempunyai tiga didieh, satu didieh digunakan sebagai biliek (ruang tidur), yaitu dengan
dibatasi oleh empat dinding. Disini anggota perempuan dari keluarga luas
Minangkabau menerima suaminya. Didieh kedua
merupakan bagian terbuka dari sebuah rumah
gadang yang berfungsi sebagai tempat penerima tamu dan acara pesta.
Sebuah rumah gadang kadang- kadang juga mempunyai tempat yang disebut anjueng (anjung), ialah bagian yang
ditambahkan pada ujungnya. Tempat ini dapat dikatakan sebagai tempat yang
ditinggikan dari bagian lain dari sebuah rumah
gadang, dan biasanya dianggap sebagai tempat kehormatan. Rumah- rumah baru
sekarang telah tidak mengikuti gaya kuno lagi, tetapi mengambil tipe-tipe yang
umum pada rumah yang dikenal di Indonesia sekarang. Hanya banyak di antaranya
yang mempertahankan lantai yang dipisahkan dengan tanah, jadi semacam rumah
panggung juga. Pembagian ruang antara bilik dan tidak bilik kadang- kadang
masih tetap dipertahankan.
B.1.2 Mata Pencaharian Hidup
Sebagian besar orang
Minangkabau hidup dari tanah. Di daerah yang subur kebanyakan orang
mengusahakan sawah sedangkan pada daerah subur yang tinggi banyak orang menanam
sayur mayur untuk perdagangan, sebagai kubis, tomat dan sebagainya. Dan pada
daerah yang tidak subur, penduduknya banyak yang menanam tanaman seperti pisang,
ubi kayu dan sebagainya. Kalau mereka yang hidup di daerah pesisir, maka mereka
hidup juga dari hasil kelapa. Bagi mereka yang tinggal di pinggir laut atau di
pinggir danau-danau juga dapat hidup dari hasil penangkapan ikan, namun
kebanyakan bagi mereka penangkapan ikan adalah mata pencaharian sambilan saja.
Di samping sektor pertanian,
masyarakat Minangkabau ada pula yang beranjak ke sektor perdagangan. Mereka
yang menjadi pedagang biasanya memilih antara tiga lapangan ialah tekstil,
kelontong atau rumah makan. Selain itu, ada juga yang hidup dari kerajinan
tangan. Diantaranya yang telah melampaui batas kedaerahan ialah kerajinan perak
bakar dari Koto Gadang, sebuah desa dekat Bukittinggi dan pembuatan kain
songket dari Silungkang, sebuah desa dekat Sawahlunto. Kerajinan tangan lainnya
hanya dikenal dalam lingkungan daerah Minangkabau saja. Sayang, bahwa kerajinan
tangan yang ada itu kelihatan seakan-akan menghadapi masa suram. Kerajinan
tangan songket Silungkang mulai hilang atau tidak semaju perusahaan songket di
Malaya, karena kain itu sekarang semata-mata merupakan atraksi bagi para turis
saja.
B.2 Kebudayaan Jawa
Daerah
kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari
pulau Jawa. Sungguhpun demikian ada daerah-daerah yang secara kolektif sering
disebut daerah kejawen. Sebelum
terjadi perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta,
Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan
ujung timur.
Sehubungan
dengan hal itu maka dalam seluruh rangka kebudayaan Jawa ini, dua daerah luas
bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan
Surakarta, adalah merupakan pusat dari kebudayaan tersebut. Sama halnya dengan
daerah Kejawen lainnya. Di dalam
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebelah selatan terdapat kelompok
masyarakat orang Jawa yang masih mengikuti dan mendukung kebudayaan Jawa
tersebut. Pada umumnya mereka itu membentuk kesatuan-kesatuan hidup setempat ia
menetap di desa-desa.
Pada
prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria
tingkatannya yaitu Bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk
orang yang sudah dikenal akrab dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta
lebih rendah derajat atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah Bahasa
Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko Andap. Sebaliknya Bahasa Jawa
Krama dipergunakan untuk berbicara dengan yang belum dikenal akrab tetapi yang
sebaya dalam umur maupun derajat dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur
serta status sosialnya.
Macam-macam
bahasa Jawa berdasarkan umur dan derajat sosial masyarakat antara lain : Bahasa
Jawa Madya, yang terdiri dari tiga
macam bahasa yaitu : Madya Ngoko, Madya
Antara, Madya Krama. Dalam bahasa Madya
Krama, ada Krama Inggil yang
terdiri dari 300 kata-kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota tubuh,
aktifitas, benda milik, sifat-sifat dan emosi-emosi dari orang-orang yang lebih
tua umur atau lebih tinggi derajat sosialnya. Ada juga bahasa Kedaton (atau bahasa Bagongan) yang
khusus dipergunakan di kalangan istana, bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa
orang-orang di desa-desa dan akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni bahasa yang diucapkan oleh orang-orang dalam
keadaan marah atau mengumpat.
B.2.1 Angka-angka dan
Fakta-Fakta Demografis
Jumlah penduduk Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Madura menurut angka-angka sensus 1930 adalah 30.321.000 dengan padat
penduduk rata-rata 402 per km2 sedangkan lebih dari 30 tahun
kemudian, ialah angka-angka menurut sensus 1961, penduduk ketiga daerah
tersebut adalah 42.471.000 dengan padat penduduk rata-rata 567 per km2.
Selanjutnya, untuk daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berasal laporan tahun 1962. Pada tahun itu
jumlah penduduk di wilayah selatan DIY ini (Kabupaten Bantul) adalah 504.065
orang dan 152 orang diantaranya adalah orang asing. Jumlahj penduduk sebanyak
itu terdiri dari 12.472 kepala Somah.
Dari sekian jumlah penduduk tersebut, 497.358 orang beragama islam, 6300 orang
memeluk agama kristen khatolik dan 256 orang menganut agama kristen protestan,
sedangkan yang 151 orang lainnya mengikuti aliran-aliran kebatinan setempat.
B.2.2 Bentuk Desa
Desa sebagai tempat kediaman yang tetap
pada masyarakat orang Jawa, di daerah pedalaman, adalah suatu wilayah hukum
yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Secara
administratif desa langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah kecamatan dan
terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap
wilayah bagian desa ini diketuai oleh seorang kepala dukuh. Disini dijumpai antar rumah dipisahkan dengan
pagar-pagar bambu atau tumbuh-tumbuhan. Di antara rumah-rumah itu ada yang
dilengkapi dengan lumbung padi, kandang-kandang ternak dan perigi yang dibangun
di dekat-dekat rumah atau halaman pekarangan rumah. Kemudian sebuah dukuh dengan dukuh lainnya dihubungkan oleh jalan-jalan desa yang luasnya tidak
lebih dari dua meter.
Disana ada juga Balai Desa, tempat
pemerintahan desa berkumpul atau mengadakan rapat-rapat desa yang diadakan
tiap-tiap 35 hari sekali. Untuk menampung kegiatan-kegiatan pendidikan,
keagamaan dan sosial ekonomi rakyat, biasanya ada sekolah-sekolah, langgar atau mesjid. Kecuali itu ada
pasar yang kelihatan ramai pada hari pasaran.
Adapun kuburan desa berada di lingkungan wilayah salah satu dukuh, sedangkan tanah pertanian berupa
sawah-sawah atau ladang-ladang terbentang di sekeliling desa.
Dipandang dari bahan dan bentuknya,
maka ada beberapa macam rumah. Ada rumah yang dibangun memakai kerangka dari
bambu, glugu (batang pohon nyiur) atau kayu jati kemudian
dinding-dindingnya di buat gedek
(anyaman belahan bambu), papan atau tembok, dan atapnya berupa anyaman daun
kelapa kering (blarak) , atau dari
gunting. Bagian dalam rumah itu, dibagi-bagi menjadi ruangan-ruangan kecil yang
satu sama lain dipisah-pisahklan dengan gedek
yang dapat digeser atau dipindahkan dan pintunya ialah pintu seret,
sedangkan jendela-jendela tidak ada. Sinar matahari dapat masuk melalui lubang
dari atap-atap dan celah-celah dindingnya.
Adapun mengenai bentuk rumah itu
yang ditentukan oleh bangunan atapnya, ada yang dinamakan rumah limasan, rumah serotong, rumah joglo,
rumah panggangepe, rumah daragepak, rumah macan njerum, rumah klabang nyander,
rumah tajuk, rumah kutuk ngambang dan rumah sinom. Di antara rumah-rumah tersebut,
rumah limasan yang paling sering
ditemui dan menjadi tempat kediaman penetap desa pertama, di samping rumah serotong. Adapun rumah Joglo adalah
prototipe rumah bangsawan.
B.2.3 Mata Pencaharian Hidup
Selain sumber penghidupan yang
berasdal dari pekerjaan-pekerjaan kepegawaian, pertukangan dan perdagangan,
bertani adalah salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat
orang Jawa di desa-desa. Di dalam melakukan
pekerjaan pertanian ini, di antara mereka ada yang menggarap tanah
pertaniannya untuk dibuat kebun kering (tegalan), terutama mereka yang hidup di
daerah pegunungan, sedangkan bagi mereka yang tinggal di daerah dataran rendah
mengolah tanah-tanah pertanian tersebut guna dijadikan sawah. Di samping tanaman padi, beberapa jenis tanaman palawija
juga ditumbuhkan baik sebagai tanaman utama di tegalan maupun sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu –waktu
musim kemarau di mana air sangat kurang untuk pengairan sawah-sawah itu, seperti ketela pohon,
jagung, ketela rambat, kedelai, kacangn tanah, kacang tunggak, gude, dll.
C. Kesimpulan
1.
Keanekaragaman budaya merupakan kekayaan bangsa kita.
Kebudayaan- kebudayaan daerah merupakan modal utama untuk mengembangkan
kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah
yang ada di wilayah Indonesia.
2.
Daerah
asal dari kebudayaan Minangkabau kira- kira seluas daerah provinsi sumatera
barat sekarang ini, dengan dikurangi daerah kepulauan mentawai, tetapi dalam
pandangan orang Minangkabau sendiri, daerah ini dibagi lagi ke bagian- bagian
khusus. Pembagian- pembagian khusus itu menyatakan pertentangan antara darek (darat) dan pasisie (pesisir) atau rantau. Ada anggapan bahwa orang- orang yang
berdiam di pesisir, berasal dari darat.
3.
Daerah
kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari
pulau Jawa. Sungguhpun demikian ada daerah-daerah yang secara kolektif sering
disebut daerah kejawen. Sebelum
terjadi perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta,
Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan
ujung timur.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat.
1985. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
15 Februari 2012.